Musim kemarau tahun 2014 yang beralamat Desa Palugon, Desa Jambu, Desa Cigintung mengakibatkan beberapa lahan pertaniah mengalami kekeringan, tidak hanya itu pendapatan petanipun kini kian menurun. Sumber kompas menyatakan: Musim kemarau tahun 2014
berpotensi lebih kering dan lebih panjang dari tahun sebelumnya.
Penyebabnya adalah El Nino, fenomena naiknya suhu muka laut di Samudra
Pasifik yang memengaruhi pembentukan awan dan curah hujan di berbagai
wilayah, termasuk Indonesia Kepala Pusat Meteorologi
Publik, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Mulyono R
Prabowo, mengatakan, "El Nino akan mengganggu proses pembentukan awan
hujan, terutama di Indonesia Barat."
Mulyono menerangkan, El Nino
yang berpotensi datang pada bulan Juli hingga Agustus 2014 sebenarnya
berskala lemah. Artinya, peningkatan suhu muka laut di Pasifik berkisar
0,5 hingga 1 derajat celsius.
Namun, El Nino tetap harus
diantisipasi. "Karena terjadi ketika wilayah Indonesia, terutama
Sumatera, Jawa, dan selatan Indonesia sedang mengalami musim kemarau,"
kata Mulyono saat dihubungi Kompas.com, Jumat (16/5/2014).
Di
Jawa dan Sumatera, El Nino berpotensi mendatangkan kemarau yang lebih
kering dan panjang. Sektor pertanian harus mulai mengantisipasi hal itu.
Demikian pula kemungkinan terulangnya kebakaran hutan seperti di Riau.
"Yang perlu dipersiapkan adalah water management,"
kata Mulyono. Kalangan petani, misalnya, bisa mulai menampung air dari
hujan yang saat ini masih terjadi sebagai persediaan pada musim kemarau
nanti. Cara lain adalah membuat bendungan kecil.
"Selain itu bisa
juga dengan pemilihan varietas tanaman. Kalau semula menanam padi yang
membutuhkan air banyak, sekarang bisa menanam yang membutuhkan air lebih
sedikit, atau berganti komoditas ke palawija," urai Mulyono.
Sementara
itu, Indonesia Barat mungkin dilanda kekeringan, Indonesia Timur
mungkin mengalami surplus air. Mulyono mengungkapkan, El Nino mungkin
menggeser pertumbuhan awan ke wilayah Indonesia Timur.
Surplus
air bisa bermakna keuntungan atau kewaspadaan. Sebab, bila tak dikelola,
air juga bisa menjadi bencana. "Karena contohnya bendungan Wae Ela di
Ambon dahulu jebol pada saat musim kemarau," papar Mulyono.
Menurut
Mulyono, El Nino adalah fenomena cuaca biasa yang secara periodik
terjadi dengan rentang waktu antara 2-7 tahun. Meski begitu, ada
kecenderungan peningkatan frekuensi terjadinya El Nino.
"Antara
awal tahun 1900-1960, El Nino jarang terjadi sehingga disebut periode
nonaktif. Tetapi, sejak tahun 1960-an hingga sekarang, El Nino semakin
sering terjadi, disebut periode aktif," ungkapnya.
Walau variasi
aktif dan nonaktif bisa dikatakan hal biasa, ada indikasi bahwa
peningkatan frekuensi terjadinya El Nino berkaitan dengan aktivitas
manusia yang secara tidak langsung berkontribusi pada kenaikan suhu muka
laut Pasifik.
Kegiatan manusia membuka hutan, mengubahnya
menjadi lahan pertanian, perkebunan, maupun perumahan memengaruhi uap
air yang menuju ke udara. Bergabung dengan faktor lain yang memengaruhi
cuaca, aktivitas manusia turut memicu peningkatan kejadian El Nino.
.