Ruqyah, Penyembuhan Dengan Al-Qur`an Dan As-Sunnah
RUQYAH, PENYEMBUHAN DENGAN AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Allah menciptakan makhlukNya dengan memberikan cobaan dan ujian, lalu menuntut
konsekwensi kesenangan, yaitu bersyukur; dan konsekwensi kesusahan, yaitu
sabar. Hal ini bisa terjadi dengan Allah membalikkan berbagai keadaan manusia
sehingga peribadahan manusia kepada Allah menjadi jelas. Banyak dalil-dalil
yang menunjukkan bahwa musibah, penderitaan dan penyakit merupakan hal yang
lazim bagi manusia. Dan semua itu pasti menimpa mereka, untuk mewujudkan
peribadahan kepada Allah semata, serta untuk melihat siapa yang paling baik
amalnya.
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun" [Al Mulk
: 2]
Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian; bahkan cobaan dan ujian merupakan
Sunnatullah dalam kehidupan. Manusia diuji dalam segala sesuatu, baik dalam
hal-hal yang disenangi maupun dalam hal yang dibenci dan tidak disukai. Allah
berfirman :
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah kamu dikembalikan". [Al Anbiya`: 35].
Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: “Kami akan menguji kalian dengan
kesulitan, kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal
dan haram, ketaatan dan maksiat, petunjuk dan kesesatan”.[1]
Berbagai macam penyakit merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan
kepada hambaNya. Sesungguhnya, cobaan-cobaan itu merupakan Sunnatullah yang
telah ditetapkan berdasarkan rahmat dan hikmahNya. Ketahuilah, Allah tidak
menetapkan sesuatu, baik berupa takdir kauni (takdir yang pasti berlaku di alam
semesta ini) atau syar’i, melainkan di dalamnya terdapat hikmah yang amat
besar, sehingga tidak mungkin bisa dinalar oleh akal manusia. Berbagai cobaan,
ujian, penderitaan, penyakit dan kesulitan, semua itu mempunyai manfaat dan
hikmah yang sangat banyak.
Pada zaman sekarang, banyak penyakit yang menimpa manusia. Ada yang sudah diketahui obatnya, dan ada
pula yang belum diketahui obatnya. Hal ini merupakan cobaan dari Allah, yang
juga akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia. Allah
berfirman:
"Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)". [Asy Syura : 30].
Setiap penyakit pasti ada obatnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
ماَ أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ
شِفَاءً
"Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan pasti menurunkan
obatnya".[2]
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ, فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ
الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ
"Setiap penyakit ada obatnya. Jika suatu obat itu tepat (manjur) untuk
suatu penyakit, maka akan sembuh dengan izin Allah". [3]
Seorang muslim, bila ditimpa penyakit, ia wajib berikhtiar mencari obatnya
dengan berusaha secara maksimal. Dalam usaha mengobati penyakit yang
dideritanya, maka wajib memperhatikan tiga hal.
Pertama : Bahwa obat dan dokter hanya sarana kesembuhan. Adapun yang
benar-benar menyembuhkan penyakit hanyalah Allah.
Allah berfirman, mengisahkan Nabi Ibrahim Alaihissallam.
"..dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkanku". [Asy
Syu’ara’: 80].
"Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang
dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu,
maka tidak ada yang dapat menolak karuniaNya. Dia memberikan kebaikan itu
kepada siapa yang dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya, dan Dia-lah Yang Maha
pengampun lagi Maha penyayang". [Yunus : 107].
Kedua : Dalam berikhtiar atau berusaha mencari obat tersebut, tidak boleh
dilakukan dengan cara-cara yang haram dan syirik.
Yang haram seperti berobat dengan menggunakan obat yang terlarang atau
barang-barang yang haram, karena Allah tidak menjadikan penyembuhan dari barang
yang haram.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ ,
فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا
بِحَرَامٍ
"Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan
janganlah berobat dengan (obat) yang haram".[4]
إَنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ كُمْ فِي
حَرَامٍ
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan (dari penyakit) kalian
pada apa-apa yang haram".[5]
Tidak boleh juga berobat dengan hal-hal yang syirik, seperti: pengobatan
alternatif dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal, orang
pintar, menggunakan jin, pengobatan dengan jarak jauh dan sebagainya yang tidak
sesuai dengan syari’at, sehingga dapat mengakibatkan jatuh ke dalam perbuatan
syirik dan dosa besar yang paling besar. Orang yang datang ke dukun atau orang
pintar, ia tidak akan diterima shalatnya selama empatpuluh hari. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّا فًـا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ,
لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ
أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
"Barangsiapa yang datang kepada dukun (orang pintar atau tukang ramal),
lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama
empatpuluh malam".[6]
مَنْ أَتَى عَرَّا فًـا أَوْ كَاهِنًا
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ, فَقَد كَفَرَ
بِمَا أُنزِلَ عَلى مُحَمَّدٍ
"Barangsiapa yang mendatangi orang pintar (tukang ramal atau dukun), lalu
ia membenarkan apa yang diucapkannya, maka sungguh ia telah kafir dengan apa
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad".[7]
Apabila seseorang terkena sihir, guna-guna, santet, kesurupan jin dan lainnya
atau penyakit menahun yang tak kunjung sembuh, maka sekali-kali ia tidak boleh
mendatangi dukun, tukang sihir atau paranormal. Perbuatan tersebut merupakan
dosa besar. Begitu pula, seseorang tidak boleh bertanya kepada mereka tentang
penyakit maupun tentang hal-hal yang ghaib, karena tidak ada yang mengetahui
perkara ghaib, melainkan hanya Allah saja; bahkan Rasulullah pun tidak
mengetahui perkara yang ghaib. Allah berfirman:
"Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah
ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku
mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku”. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan
orang yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" [Al An’am :
50].
Ketiga : Pengobatan dengan apa yang ditunjukkan dan diajarkan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti ruqyah, yaitu membacakan ayat-ayat Al
Qur`an dan do’a-do’a yang shahih; begitu juga dengan madu, habbatus
sauda’(jintan hitam), air zam-zam, bekam (mengeluarkan darah kotor dengan alat
bekam), dan lainnya. Pengobatan dan penyembuhan yang paling baik itu dengan
ayat-ayat Al Qur`an, karena Al Qur`an merupakan petunjuk bagi manusia,
penyembuh dan rahmat bagi kaum mukminin.
Tidak diragukan lagi, bahwa penyembuhan dengan Al Qur`an dan dengan apa yang
diajarkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa ruqyah, merupakan
penyembuhan yang bermanfaat, sekaligus penawar yang sempurna. Allah berfirman:
"Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
yang beriman". [Fushshilat:44].
"Dan kami turunkan dari Al Qur`an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman". [Al Isra` : 82].
Pengertian “dari Al Qur`an” pada ayat di atas ialah Al Qur`an itu sendiri.
Karena Al Qur`an secara keseluruhan ialah sebagai penyembuh, sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat di atas.[9]
Allah berfirman:
$
"Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran
dari Rabb kalian, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman". [Yunus :
57].
Dengan demikian, Al Qur`an merupakan penyembuh yang sempurna diantara seluruh
obat hati dan juga obat fisik, sekaligus sebagai obat bagi seluruh penyakit
dunia dan akhirat. Tidak setiap orang mampu dan mempunyai kemampuan untuk
melakukan penyembuhan dengan Al Qur`an. Jika pengobatan dan penyembuhan itu
dilakukan secara baik terhadap penyakit, dengan didasari kepercayaan dan
keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti, terpenuhi
syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakitpun yang mampu melawannya untuk
selamanya. Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu akan menentang dan melawan
firman-firman Rabb bumi dan langit, yang jika firman-firman itu turun ke
gunung, maka ia akan memporak-porandakan gunung-gunung tersebut? Atau jika
turun ke bumi, niscaya ia akan membelahnya? Oleh karena itu, tidak ada satu
penyakit hati dan juga penyakit fisik pun melainkan di dalam Al Qur`an terdapat
jalan penyembuhannya, penyebabnya, serta pencegah terhadapnya bagi orang yang dikaruniai
pemahaman oleh Allah terhadap KitabNya. Allah ‘Azza wa Jalla (Yang Maha perkasa
lagi Maha agung) telah menyebutkan di dalam Al Qur`an beberapa penyakit hati
dan fisik, juga disertai penyebutan penyembuhan hati dan fisik.
Penyakit hati terdiri dari dua macam, yaitu: penyakit syubhat (kesamaran) atau
ragu dan penyakit syahwat atau hawa nafsu. Allah Yang Maha suci telah
menyebutkan beberapa penyakit hati secara terperinci disertai dengan beberapa
sebab, sekaligus cara menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut.[10]
Allah berfirman:
"Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasanya Kami telah menurunkan
kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya
di dalam Al Qur`an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang
yang beriman". [Al ‘Ankabut : 51].
Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengemukakan:
فَمَنْ لَمْ يَشْفِهِ الْقُرانُ فَلاَ شَفَاهُ
اللهُ, وَمَنْ لَمْ يَكْفِهِ فَلاَ
كَفَاهُ اللهُ.
"Barangsiapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al Qur`an, berarti Allah
tidak memberikan kesembuhan kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak dicukupkan
oleh Al Qur`an, maka Allah tidak memberikan kecukupan kepadanya".[11]
Mengenai penyakit-penyakit badan atau fisik, Al Qur`an telah membimbing dan
menunjukkan kita kepada pokok-pokok pengobatan dan penyembuhannya, juga
kaidah-kaidah yang dimilikinya. Kaidah pengobatan penyakit badan secara
keseluruhan terdapat di dalam Al Qur`an, yaitu ada tiga point: menjaga
kesehatan, melindungi diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit dan
mengeluarkan unsur-unsur yang merusak badan.[12]
Jika seorang hamba melakukan penyembuhan dengan Al Qur`an secara baik dan
benar, niscaya dia akan melihat pengaruh yang menakjubkan dalam penyembuhan
yang cepat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Pada suatu ketika aku pernah jatuh
sakit, tetapi aku tidak menemukan seorang dokter atau obat penyembuh. Lalu aku
berusaha mengobati dan menyembuhkan diriku dengan surat Al Fatihah, maka aku melihat pengaruh
yang sangat menakjubkan. Aku ambil segelas air zam-zam dan membacakan padanya surat Al Fatihah
berkali-kali, lalu aku meminumnya hingga aku mendapatkan kesembuhan total.
Selanjutnya aku bersandar dengan cara tersebut dalam mengobati berbagai
penyakit dan aku merasakan manfaat yang sangat besar”.[13]
Demikian juga pengobatan dengan ruqaa (jamak dari ruqyah) Nabawi yang
riwayatnya shahih, merupakan obat yang sangat bermanfaat. Dan juga suatu do’a
yang dipanjatkan. Apabila do’a tersebut terhindar dari penghalang-penghalang
terkabulnya do’a itu, maka ia merupakan sebab yang sangat bermanfaat dalam
menolak hal-hal yang tidak disenangi dan tercapainya hal-hal yang diinginkan.
Demikian itu termasuk salah satu obat yang sangat bermanfaat, khususnya yang
dilakukan berkali-kali. Dan do’a juga berfungsi sebagai penangkal bala`
(musibah), mencegah dan menyembuhkannya, menghalangi turunnya, atau
meringankannya jika ternyata sudah sempat turun.[14]
لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ, وَلاَ
يَزِيْدُ فِي الْعُمُرِ إِلاَّ
الْبِرُّ.
"Tidak ada yang dapat mencegah qadha` (takdir) kecuali do’a, dan tidak ada
yang dapat memberi tambahan umur kecuali kebijakan".[15]
Tetapi yang harus dimengerti secara benar, bahwa ayat-ayat, dzikir-dzikir,
do’a-do’a dan beberapa ta’awudz (permohonan perlindungan kepada Allah) yang
dipergunakan untuk mengobati atau untuk ruqyah, pada hakikatnya pada semua
ayat, dzikir-dzikir, do’a-do’a. Ta’awudz itu sendiri memberi manfaat yang besar
dan juga dapat menyembuhkan. Namun ia memerlukan penerimaan (dari orang yang
sakit) dan kekuatan orang yang mengobati dan pengaruhnya. Jika suatu
penyembuhan itu gagal, maka yang demikian itu disebabkan oleh lemahnya pengaruh
pelaku, atau karena tidak adanya penerimaan oleh pihak yang diobati, atau
adanya rintangan yang kuat di dalamnya yang menghalangi reaksi obat.
Pengobatan dengan ruqyah ini dapat dicapai dengan adanya dua aspek, yaitu dari
pihak pasien (orang yang sakit) dan dari pihak orang yang mengobati.
Yang berasal dari pihak pasien, ialah berupa kekuatan dirinya dan
kesungguhannya dalam bergantung kepada Allah, serta keyakinannya yang pasti
bahwa Al Qur`an itu sebagai penyembuh sekaligus rahmat bagi orang-orang yang
beriman. Dan ta’awudz yang benar, yang sesuai antara hati dan lisan, maka yang
demikian itu merupakan suatu bentuk perlawanan. Sedangkan seseorang yang
melakukan perlawanan, ia tidak akan memperoleh kemenangan dari musuh kecuali
dengan dua hal, yaitu:
Pertama : Keadaan senjata yang dipergunakan haruslah benar, bagus dan kedua
tangan yang mempergunakannya pun harus kuat. Jika salah satu dari keduanya
hilang, maka senjata itu tidak banyak berarti; apalagi jika kedua hal di atas
tidak ada, yaitu hatinya kosong dari tauhid, tawakkal, takwa, tawajjuh
(menghadap, bergantung sepenuhnya kepada Allah) dan tidak memiliki senjata.
Kedua : Dari pihak yang mengobati dengan Al Qur`an dan As Sunnah juga harus
memenuhi kedua hal di atas [16]. Oleh karena itu, Ibnut Tiin rahimahullah berkata:
“Ruqyah dengan menggunakan beberapa kalimat ta’awudz dan juga yang lainnya dari
nama-nama Allah adalah merupakan pengobatan rohani. Jika dilakukan oleh lisan
orang-orang yang baik, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala kesembuhan
tersebut akan terwujud”. [17]
Para ulama telah sepakat membolehkan ruqyah
dengan tiga syarat, yaitu:[18]
Pertama : Ruqyah itu dengan menggunakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau
asma`dan sifatNya, atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua : Ruqyah itu harus diucapkan dengan bahasa Arab, diucapkan dengan jelas
dan dapat difahami maknanya.
Ketiga : Harus diyakini, bahwa yang memberikan pengaruh bukanlah dzat ruqyah
itu sendiri, tetapi yang memberi pengaruh ialah kekuasaan Allah. Adapun ruqyah
hanya merupakan salah satu sebab saja.[19]
Wallahu a’lam bish Shawab, Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Maraji’:
1. Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, Cet. Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Tahun 1412 H.
2. Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, juz 4, oleh Imam Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah, tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir Al Arna-uth, Cet. Muassassah Ar
Risalah, Tahun 1415 H.
3. Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, Cet. Darul
Fikr.
4. Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, ta’lif Abdurrahman bin Hasan bin
Muhammad bin Abdul Wahab, tahqiq Dr. Walid bin Abdurrahman Al Furayyan, Tahun
1419 H.
5. Adda’ wad Dawa’, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan bin Halabi.
6. Al ‘Ilaj Bir Ruqa` Minal Kitab Was Sunnah, oleh Dr. Sa’id bin Wahf Al
Qahthan
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari IX/26, no. 24588, Cet. I Darul Kutub Al
‘Ilmiyah, Beirut,
Tahun 1412 H.
[2]. HR Al Bukhari no. 5678 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu .
[3]. HR Muslim no. 2204, dari Jabir Radhiyallahu 'anhu .
[4]. HR Ad Daulabi dalam Al Kuna, dari sahabat Abu Darda`. Sanadnya hasan,
dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah,
no.1633.
[5]. HR Abu Ya’la dan Ibnu Hibban (no.1397, Mawarid), lihat Shahih Mawaridizh
Zham-an, no. 1172, dari Ummu Salamah, hasan lighairihi.
[6]. HR Muslim no. 2230 (125), Ahmad IV/68, V/380 dari seorang isteri
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
[7]. HR Ahmad II/408,429,476; Hakim I/8; Baihaqi, VIII/135; dari sahabat Abu
Hurairah. Dishahihkan oleh Hakim dan disetujui Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani
menshahihkan juga dalam Shahih Al Jami’ish Shaghir no.5939.
[8]. Ruqyah, jama’nya adalah ruqaa. Yaitu bacaan-bacaan untuk pengobatan yang
syar’i, berdasarkan pada riwayat yang shahih, atau sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama.
[9]. Lihat Al Jawabul Kafi Liman Sa-ala’anid Dawa-isy Syafi (Jawaban yang
memadai bagi orang yang bertanya tentang obat penyembuh yang mujarab), atau Ad
Da’wad Dawaa’ (penyakit dan obatnya), karya Ibnul Qayyim, hlm.7, tahqiq Syaikh
Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
[10]. Lihat Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim (IV/5-6).
[11]. Lihat Zaadul Ma’ad (IV/352).
[12]. Lihat Zaadul Ma’ad (IV/6, 352).
[13]. Lihat Zaadul Ma’ad (IV/178).
[14]. Lihat Adda’ Wad Dawa’, hlm.10.
[15]. HR Al Hakim dan At Tirmidzi, no.2139 dari Salman z dan dihasankan oleh
Syaikh Al Albani. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 154.
[16]. Lihat Zaadul Ma’ad (IV/67-68).
[17]. Fathul Baari (X/196).
[18]. Lihat Fathul Baari (X/195), juga Fatawa Al ‘Allamah Ibni Baaz (II/384).
[19]. Lihat Al ‘Ilaj Bir Ruqaa Minal Kitab Was Sunnah, hlm. 83.